Laman

Jumat, 24 Februari 2012

MASALAH PEMBIBITAN BELUT (MONOPTERUS ALBUS)


Salah satu kendala dalam budidaya belut adalah ketersebiaan bibit. Bibit belut yang saat ini beredar, sebagian besar adalah bibit hasil tangkapan alam, yang tentu saja tidak dapat dijamin kuantitas, kualitasnya dan kontinuitasnya. Bibit hasil tangkapan alam, umumnya di  tangkap dengan cara disetrum, diracun, dibadik atau dijepit. Cara penangkapan seperti tersebut di atas menjadikan belut lemah, terluka, stress berlebahian atau bahkan mati suri.
Bibit belut hasil tangkapan alam, selain kualitasnya tidak dapat dijamin karena cara penangkapannya tidak benar, juga karena tidak diketahui kualitas induk belutnya. Di alam, belut sawah umumnya mulai bertelur setelah umur 4 bulan. Namun karena berubahnya pola tanam padi yang makin lama makin pendek, belut alam menyesuaikan diri, sehingga belut mulai bertelur ketika baru berusia 2-3 bulan. Hal tersebut menjadikan kualitas anak belut menjadi menurun secara genetika karena dihasilkan oleh belut yang kurang umur.
Selain masalah kualitas, bibit belut tangkapan alam secara kuantitas makin lama makin menurun karena adanya eksploitasi besar-besaran dan masif. Belut yang hidup di alam saat ini diperkirakan tinggal kurang dari 10% dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, sehingga bibit yang dihasilkan juga jauh menurun. Apalagi pola penangkapan yang membabi buta tidak peduli apakah belut terseut masih produktif atau tidak, segala ukuran belut dibur dan ditangkap setiap hari di hampir seluruh Indonesia.
Masa reproduksi belut di alam sangat tergantung pada habitat dan cuaca. Biasanya belut melakukan pemijahan pada awal msim hujan hingga pertengahan musim hujan, yaitu antara bulan Oktober hingga bulan Februari. Pada bulan-bulan tersebut, biasanya air berlimpah serta membawa  nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan anak-anak belut, sehingga induk belut tidak khawatir anak-anaknya akan kekeringan dan kekurangan pangan. Namun di luar bulan-bulan tersebut, biasanya belut akan sulit melakukan pemijahan karena hujan sudah mulai jarang turun dan air makin menyusut. Pada musim kemarau, biasanya belut akan membuat sarang penyelamatan jauh di bawah permukaan tanah yang masih lembab, sehingga dapat bertahan sampai musim hujan berikutnya. Pada musim kemarau itulah maka terjadi kelangkaan bibit belut karena memang di alam belut biasanya tidak melakukan pemijahan. Hal tersebut tentu sangat mengganggu kontinuitas ketersediaan bibit belut yang sangat diperlukan oleh pembudidaya.
Salah satu solusi jitu untuk mengatasi kendala dalam pengadaan bibit belut tentu dengan cara usaha pembibitan di kolam-kolam atau wadah budidaya. Namun hingga saat ini, pemijahan belut masih mengalami kendala, karena belum ada teknologi yang mendukung. Sehingga satu-satunya cara usaha yan dilakukan adalah dengan rekayasa pemijahan alami yaitu dengan cara menyediakan habitat yag sesuai dengan alamnya. Dengan menyediakan habitat yang sesuai dengan alamnya di wadah-wadah pemijahan, maka kendala debit air dan pasokan nutrisi yang diperlukan belut untuk memijah dapat diatasi dan tidak terkendala oleh musim, sehingga kontinuitas ketersediaan bibit dapat diatasi.
Bagaimana mengusahakan pembibitan belut di wadah-wadah budidaya, dapat anda ketahui secara tuntas dan mendalam dari buku: "USAHA PEMBIBITAN BELUT DI LAHAN SEMPIT" terbitan Penyebar Swadaya, Cimanggis, 2010, yang sudah beredar di toko-toko buku di seluruh Indonesia dengan harga Rp32.000,- per eksemplar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar